Tuesday, 11 November 2014

Final Project KBK Penulisan Ilmiah 2014

Pengaruh Orangtua Overprotective Terhadap Perkembangan Anak pada Usia Remaja

Latar Belakang Masalah
     Menurut Santrock (2003), keluarga merupakan pilar utama dan pertama dalam membentuk anak untuk mandiri. Dukungan yang paling besar di dalam lingkungan rumah adalah bersumber dari orangtua. Orangtua diharapkan dapat memberikan kesempatan pada anak agar dapat mengembangkan kemampuan yang dimilikinya (Tarmidi & Rambe, 2010). Banyak cara yang diterapkan orangtua dalam mendidik serta membesarkan anak-anaknya. Biasanya orangtua merasa lebih tahu sehingga terkadang cenderung memberikan pengontrolan yang berlebihan (Gunarsa, 2003).
     Terkadang kepribadian anak berlainan dengan yang dicita-citakan orangtua. Orangtua menghendaki anak agar tidak nakal, tetapi kenyataannya adalah sebaliknya. Oleh sebab itu, muncul sikap overprotective pada anak terutama pada usia remaja (Gunarsa & Gunarsa, 2004, h. 16).
     Karena pada usia ini umumnya orangtua dikecewakan oleh pelaksanaan aturan yang tidak sempurna sehingga orangtua melakukan pengawasan yang terlalu ketat. Orangtua mungkin memiliki tujuan yang terbaik dan tidak ingin anak mengalami kejadian yang terburuk dalam hidupnya (Hidayat, 2013). Namun, anak yang mengalami pengawasan overprotective dari orangtuanya dapat mengalami kesulitan untuk mengakspresiasikan emosi atau pendapatnya (Gunarsa & Gunarsa, 2004).

Orangtua Overprotective
     Menurut Chaplin (1999), overprotective merupakan perlindungan yang cenderung dipihak orangtua untuk melindungi anaknya secara berlebihan. Dengan ini, orangtua memberikan perlindungan terhadap gangguan dan bahaya fisik maupun psikologis sehingga anak tidak mendapatkan kebebasan (Dewi & Sugiasih, 2010).
     Menurut Mappiare (1982), overprotective merupakan cara orangtua mendidik anak dengan terlalu melindungi, kurang memberi kesempatan pada anak untuk mengurusi keperluannya sendiri. Serta orangtua juga kurang memberi kesempatan untuk mengambil keputusannya sendiri. Field (dikutip dalam Anggrainy, 2004) menambahkan bahwa dalam keluarga yang overprotective, para remaja menerima banyak perhatian dan dukungan orangtua. Tetapi, orangtua memberi dukungan dalam melindungi mereka dari kesalahan atau tingkah laku yang tidak tepat. Hal ini dapat mengganggu perkembangan anak dalam masa persiapan diri pada usia remaja (Dewi & Sugiasih, 2010).

Peranan Orangtua
     Menurut Gunarsa (2012), terdapat beberapa peranan orangtua, yaitu (a) sebagai orangtua, (b) sebagai guru, (c) sebagai tokoh teladan, dan (d) sebagai pengawas. Sebagai orangtua, orangtua berperan untuk membesarkan, merawat, memelihara, dan memberikan anak kesempatan berkembang. Sebagai guru, orangtua berperan untuk mengajarkan peraturan-peraturan tata cara keluarga, mengajarkan ketangkasan motorik, dan menanamkan pedoman hidup bermasyarakat. Sebagai tokoh teladan, orangtua menjadi tokoh yang ditiru pola tingkah lakunya, cara berekspresi, dan cara berbicara. Sebagai pengawas, orangtua memperhatikan tingkah laku anak dan mengawasi anak agar tidak melanggar peraturan di rumah maupun di luar lingkungan.

Penyebab Orangtua Overprotective
     Kasih sayang yang terlalu berlebihan. Kasih sayang orangtua terhadap anak merupakan perasaan yang tulus datang dari hati. Tetapi, orangtua memberi kasih sayang yang berlebihan sehingga anak selalu bergantung pada orangtua. Terutama ketika beranjak dewasa, anak akan menjadi kepribadian yang tidak mandiri (Gunarsa, 2004, h. 81-85).
     Memiliki rasa kekhawatiran yang berlebihan. Rasa khawatir memang sebuah perasaan yang lazim dirasakan oleh setiap orangtua. Namun, sikap khawatir terhadap anak tentunya memiliki batasan. Karena tidak harus setiap aktivitas yang dilakukan menjadi sesuatu yang sangat dikhawatirkan oleh orangtua (Yusuf, 2000).
     Rasa trauma masa lalu yang dirasakan orangtua. Perasaan ini timbul ketika orangtua memiliki rasa trauma atau pengalaman yang buruk di masa lalu. Orangtua takut pengalaman buruknya terjadi juga terhadap anaknya sehingga orangtua akan bersikap overprotective pada anak (Yusuf, 2000).

Dampak Orangtua Overprotective
     Berbohong. Kebanyakan anak berbohong untuk menghindarkan diri dari hukuman. Anak tidak mau dihukum, disakiti maupun dipermalukan di depan orang lain, maka akan selalu mencari alasan untuk menutupi keadaan sebenarnya. Banyaknya larangan menyebabkan anak tidak dapat mengingat semuanya dan lebih sering melupakan. Maka, sulit dibedakan antara yang sebaiknya tidak dilakukan demi ketertiban hidup bersama dengan larangan yang tidak boleh dilanggar (Gunarsa, 2004, h. 23-34).
     Pergi tanpa izin. Gejala pergi dari rumah, yaitu meninggalkan rumah tanpa izin orangtua merupakan gejala yang banyak terlihat. Seringkali disebabkan oleh keadaan keluarga yang membuat anak menganggap rumah sebagai tempat yang tidak menyenangkan. Mungkin anak merasa dirinya ditekan dan dikekang sehingga anak seolah-olah memandang rumah dan keluarganya sebagai penjara (Gunarsa, 2004, h. 36-45).
     Pemberontakan. Jika terus-menerus dibatasi untuk melakukan sesuatu yang benar-benar ingin dilakukannya, ada kemungkinan anak berperilaku agresif. Pengawasan yang ketat, tuntutan tinggi, dan otoritas orangtua yang tidak masuk akal dapat memprovokasi pemberontakan pada anak, terutama usia remaja (Gunarsa, 2004, h. 90-100).
     Depresi. Kontrol psikologis yang berlebihan telah dikaitkan dengan depresi karena cara didik yang kaku dapat menyebabkan anak menjadi depresi. Serta anak menjadi memiliki rasa percaya diri yang rendah (Gunarsa, 2004, h. 67-83).
     Perilaku negatif. Anak yang dibesarkan dalam lingkungan terbatas dan dikendalikan cenderung memiliki sifat-sifat perilaku negatif ketika ia beranjak dewasa. Kurangnya kebebasan sebagai seorang anak dapat mengakibatkan anak terjerumus pada hal-hal negatif. Kontrol orangtua yang berlebihan juga dapat mengakibatkan sifat-sifat seperti agresi dan kaku ketika dewasa (Gunarsa, 2004, h. 67-83).
  
Upaya Pencegahan
     Menurut Weiten dan Lioyd (dikutip dalam Yusuf, 2000, h. 52), perlakuan orangtua yang efektif adalah (a) menyusun atau membuat standar yang tinggi dan dapat dipahami, (b) memberi kesempatan anak untuk berpendapat, (c) mendorong anak untuk menelaah dampak perilakunya terhadap orang lain, (d) menegakkan aturan secara konsisten, (e) menghargai privasi anak, (f) menaruh perhatian terhadap anak pada perlakuan yang baik dan memberikan ganjaran, (g) menaruh kepercayaan terhadap anak, (h) memberikan kebebasan pada anak untuk mengakspresiasikan dirinya, dan (i) menjelaskan alasan atau tujuan ketika meminta anak untuk melakukan sesuatu.

Simpulan
     Orangtua overprotective merupakan sikap orangtua yang melakukan pengawasan terlalu ketat terhadap anak. Pengawasan yang ketat menyebabkan anak mengarahkan emosinya ke dalam dan terhambat. Hal ini menyebabkan masalah dan gangguan terhadap perkembangan anak, terutama pada usia remaja.
     Oleh karena itu, orangtua harus memberikan perhatian kepada kegiatan yang dilakukan oleh anak, tetapi perhatian yang diberikan tetap harus sewajarnya. Sebagai orangtua tentu harus mengetahui karakter anak agar dapat memberikan pengajaran yang lebih tepat. Karena masing-masing anak memiliki karakter yang berbeda sehingga dibutuhkan dukungan orangtua yang merupakan dukungan sosial terpenting pada usia remaja.
 

Daftar Pustaka

Dewi, A. R., & Sugiasih, I. (2010, April). Persepsi terhadap overprotective orangtua pada remaja. Jurnal Psikologi Proyeksi, 5(1), 33-41. Diunduh dari http://fpsi.unissula.ac.id/index.php?option=com_content&vieww=article&id69&ltemid=77
Gunarsa, S. D. (2003). Psikologi perkembangan. Jakarta: Gunung Mulia.
Gunarsa, S. D. (2004). Psikologi anak bermasalah. Jakarta: Gunung Mulia.
Gunarsa, Y. S. D., & Gunarsa, S. D. (2004). Psikologi untuk muda-mudi. Jakarta: Gunung Mulia.
Gunarsa, Y. S. D. (2012). Asas-asas psikologi keluarga idaman: Peran orangtua dalam perkembangan anak. Jakarta: Libri.
Hidayat, D. E. (2013). Trust toward father and mother: An indigenous psychology analysis on children’s trust toward parents. Jurnal Pemikiran dan Penelitian Psikologi, 18(1), 51-58.
Tarmidi, & Rambe, A. R. R. (2010, desember 2). Korelasi antara dukungan sosial orangtua dan self-directed learning pada siswa SMA. Jurnal Psikologi, 37(2), 216-233.
Yusuf, S. (2000). Psikologi perkembangan anak dan remaja. Bandung: Remaja Rosdakarya.


Thursday, 6 November 2014

Latihan Level of Headings

Peningkatan Jumlah Pengangguran di Indonesia

Masalah Pengangguran
     Pengangguran adalah bagian dari angkatan kerja yang sekarang ini tidak bekerja dan sedang aktif mencari pekerjaan (Mantra, 2009). Pengangguran merupakan masalah di Indonesia yang masih menjadi persoalan sehingga perlu disikapi secara serius. Terlebih, dari data yang disampaikan Bank Dunia, kawasan Asia Timur memiliki tantangan besar terkait meluasnya pengangguran. Jumlah pengangguran di Indonesia pada saat ini memang menurun. Tapi ironinya, jumlah pengangguran terdidik di Indonesia semakin banyak. Hal itu juga sekaligus menggambarkan kondisi dan kualitas tenaga kerja di Indonesia (Moerti, 2014).

Penyebab Pengangguran
     Pendidikan yang dibutuhkan terlalu tinggi. Pendidikan yang rendah dapat menyebabkan seseorang kesulitan dalam mencari pekerjaan. Karena kualitas untuk menjadi pekerja masih di bawah standard yang biasanya menjadi patokan bagi perusahaan (Joe, 2013).
     Tidak memiliki skill. Banyak mahasiswa atau lulusan SMA memiliki kriteria dalam bekerja. Namun, dalam keterampilannya masih kurang. Sehingga tidak ada daya tarik atau nilai jual di dunia pekerjaan (Joe, 2013).
     Keterbatasan peluang kerja. Setiap tahunnya, Indonesia memiliki jumlah lulusan sekolah atau kuliah yang tinggi. Jumlah yang sangat besar ini tidak seimbang dengan lapangan pekerjaan yang ada, baik yang disediakan oleh pemerintah maupun swasta (Joe, 2013).
     Pemikirannya dianggap primitif. Pemikiran yang dimiliki masih diragukan karena pemikiran tidak lugas dan sempit. Sehingga pemikiran ini biasanya tidak mengikuti perkembangan zaman yang ada (Wiharto, 2012).
     Terjadinya PHK. Disebabkan oleh perusahaan yang menutup atau mengurangi bidang usahanya akibat krisis ekonomi, peraturan yang menghambat investasi, dan hambatan dalam proses ekspor-impor (Joe, 2013).

Bentuk Pengangguran
     Pengangguran terbuka. Tenaga kerja ini sungguh-sungguh tidak mempunyai pekerjaan. Pengangguran jenis ini cukup banyak karena memang belum mendapat pekerjaan padahal telah berusaha secara maksimal (Wiharto, 2012).
     Setengah menganggur. Perbedaan antara jumlah pekerjaan yang benar dikerjakan seseorang dalam pekerjaannya dengan jumlah pekerjaan yang secara normal mampu dan ingin dikerjakannya. Biasanya tenaga kerja setengah menganggur ini merupakan tenaga kerja yang bekerja kurang dari 35 jam selama seminggu (Wiharto, 2012).
     Tampaknya bekerja tetapi tidak bekerja secara penuh. Tenaga kerja yang tidak digolongkan sebagai pengangguran terbuka dan setengah pengangguran.
     Pengangguran tak kentara. Dalam angkatan kerja,  tenaga kerja dimasukkan dalam kegiatan bekerja, tetapi sebenarnya mereka menganggur jika dilihat dari segi produktivitasnya. Misalnya, para petani yang bekerja di ladang selama sehari penuh, padahal pekerjaan itu sebenarnya tidak memerlukan waktu selama sehari penuh (Ardimoviz, 2012).
     Pengangguran tersembunyi. Tenaga kerja yang bekerja tidak sesuai dengan tingkat atau jenis pendidikannya. Sehingga biasanya tenaga kerja ini tidak bekerja secara optimal karena suatu alasan tertentu (Ardimoviz & Wiharto, 2012).
     Pensiun lebih awal. Fenomena ini merupakan kenyataan yang terus berkembang di kalangan pegawai pemerintah. Di beberapa negara, usia pensiun dipermudah sebagai alat menciptakan peluang bagi yang muda untuk menduduki jabatan di atasnya (Bagus, 2009).
     Tenaga kerja yang lemah. Pekerja yang mungkin bekerja full time tetapi intensitasnya lemah, biasanya karena pekerja tersebut mempunyai penyakit (Bagus, 2009).
     Tenaga kerja yang tidak produktif. Pekerja yang mampu untuk bekerja secara produktif tetapi sumber daya penolong kurang memadai, maka mereka tidak bisa menghasilkan sesuatu yang baik (Bagus, 2009).

Dampak Pengangguran
     Segi ekonomi. Apabila tingkat pengangguran tinggi akan menyebabkan tingkat kemakmuran rendah, bahkan dapat membahayakan stabilitas negara. Akibatnya, terjadi bahaya kelaparan, tingkat pertumbuhan ekonomi rendah, dan pendapatan perkapita masyarakat rendah serta angka kriminalitas tinggi (Ardimoviz, 2012). Dilihat dari segi ekonomi, pengangguran memiliki dampak sebagai berikut:
     Pengangguran secara tidak langsung. Pengangguran ini berkaitan dengan pendapatan nasional. Tingginya jumlah pengangguran akan menyebabkan turunnya produk domestik bruto (PDB). Sehingga pendapatan nasional pun akan mengalami penurunan (Ardimoviz, 2012).
     Pengangguran sebagai penghambat. Pengangguran akan menyebabkan masyarakat tidak dapat memaksimalkan tingkat kemakmuran yang dicapainya. Hal ini terjadi karena pengangguran dapat menyebabkan pendapatan nasional riil (nyata) yang dicapai masyarakat akan lebih rendah daripada pendapatan potensial (Wiharto, 2012).
     Pengangguran dalam daya beli. Pengangguran akan menimbulkan daya beli masyarakat yang menurun, sehingga permintaan terhadap barang-barang hasil produksi akan berkurang. Keadaan demikian tidak merangsang kalangan investor untuk melakukan perluasan industri baru (Wiharto, 2012). 
     Segi sosial. Ditinjau dari segi sosial, pengangguran bisa menimbulkan dampak yang tidak kecil. Secara sosial, pengangguran dapat menimbulkan perasaan rendah diri dan gangguan keamanan dalam masyarakat, sehingga biaya sosial menjadi meningkat (Ardimoviz, 2012).

Simpulan
     Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa jika tingkat pengangguran di Indonesia relatif tinggi, hal tersebut akan menghambat pencapaian pembangunan ekonomi. Karena pada dasarnya, pembangunan ekonomi bertujuan untuk meningkatkan kemakmuran masyarakat (Joe, 2013).
     Pengangguran terjadi dari beraneka ragam penyebab yang menimbulkan dampak negatif. Salah satunya ialah yang disebabkan oleh keterbatasannya peluang kerja, karena pertumbuhan penduduk menciptakan angka tenaga kerja yang selalu bertambah. Sedangkan, lahan pekerjaan yang tersedia tidak memadai. Jadi, pemerintah harus mengadakan program untuk mengatasi masalah ini seperti memperluas lapangan kerja, menjaga stabilitas makro ekonomi, dan melaksanakan transmigrasi (Wiharto, 2012).


Daftar Pustaka
Enam belas penyebab terjadinya pengangguran. (2013, Januari 18). Diunduh dari http://segitiga8.wordpress.com/2013/01/18/16-penyebab-terjadinya-pengangguran/
Bimbie. (n.d.). Mengetahui lebih lanjut tentang pengangguran. Diunduh dari http://www.bimbie.com/penyebab-pengangguran.htm
Joe, D. (2013, Januari 14). Faktor masalah pengangguran dan cara mengatasinya. Diunduh dari http://dimasjoe10.wordpress.com/2013/01/14/faktor-masalah-pengangguran-dan-cara-mengatasinya/
Bagus, D. (2009). Pengangguran: Definisi, dimensi dan bentuk pengangguran. Jurnal Manajemen. Diunduh dari http://jurnal-sdm.blogspot.com/2009/10/pengangguran-definisi-dimensi-dan.html?m=1
Ardimoviz. (2012, Juli 16). Dampak pengangguran. Diunduh dari http://hitamandbiru.blogspot.com/2012/07/dampak-pengangguran.html?=1
Moerti, W. (2014, Mei 6). Empat fakta seputar tenaga kerja dan pengangguran di Indonesia. Diunduh dari http://m.merdeka.com/uang/4-fakta-seputar-tenaga-kerja-dan-pengangguran-di-indonesia.html
Sinamo, J. H. (2005). Kerja adalah aktualisasi. Dalam C.M Udiani (Ed.), Delapan etos kerja professional (h. 105-108). Jakarta: Darma Mahardika.

Boediono. (2009). Meneropong ekonomi indonesia ke depan: Peluang dan tantangan (3rd ed.). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.