Tuesday, 11 November 2014

Final Project KBK Penulisan Ilmiah 2014

Pengaruh Orangtua Overprotective Terhadap Perkembangan Anak pada Usia Remaja

Latar Belakang Masalah
     Menurut Santrock (2003), keluarga merupakan pilar utama dan pertama dalam membentuk anak untuk mandiri. Dukungan yang paling besar di dalam lingkungan rumah adalah bersumber dari orangtua. Orangtua diharapkan dapat memberikan kesempatan pada anak agar dapat mengembangkan kemampuan yang dimilikinya (Tarmidi & Rambe, 2010). Banyak cara yang diterapkan orangtua dalam mendidik serta membesarkan anak-anaknya. Biasanya orangtua merasa lebih tahu sehingga terkadang cenderung memberikan pengontrolan yang berlebihan (Gunarsa, 2003).
     Terkadang kepribadian anak berlainan dengan yang dicita-citakan orangtua. Orangtua menghendaki anak agar tidak nakal, tetapi kenyataannya adalah sebaliknya. Oleh sebab itu, muncul sikap overprotective pada anak terutama pada usia remaja (Gunarsa & Gunarsa, 2004, h. 16).
     Karena pada usia ini umumnya orangtua dikecewakan oleh pelaksanaan aturan yang tidak sempurna sehingga orangtua melakukan pengawasan yang terlalu ketat. Orangtua mungkin memiliki tujuan yang terbaik dan tidak ingin anak mengalami kejadian yang terburuk dalam hidupnya (Hidayat, 2013). Namun, anak yang mengalami pengawasan overprotective dari orangtuanya dapat mengalami kesulitan untuk mengakspresiasikan emosi atau pendapatnya (Gunarsa & Gunarsa, 2004).

Orangtua Overprotective
     Menurut Chaplin (1999), overprotective merupakan perlindungan yang cenderung dipihak orangtua untuk melindungi anaknya secara berlebihan. Dengan ini, orangtua memberikan perlindungan terhadap gangguan dan bahaya fisik maupun psikologis sehingga anak tidak mendapatkan kebebasan (Dewi & Sugiasih, 2010).
     Menurut Mappiare (1982), overprotective merupakan cara orangtua mendidik anak dengan terlalu melindungi, kurang memberi kesempatan pada anak untuk mengurusi keperluannya sendiri. Serta orangtua juga kurang memberi kesempatan untuk mengambil keputusannya sendiri. Field (dikutip dalam Anggrainy, 2004) menambahkan bahwa dalam keluarga yang overprotective, para remaja menerima banyak perhatian dan dukungan orangtua. Tetapi, orangtua memberi dukungan dalam melindungi mereka dari kesalahan atau tingkah laku yang tidak tepat. Hal ini dapat mengganggu perkembangan anak dalam masa persiapan diri pada usia remaja (Dewi & Sugiasih, 2010).

Peranan Orangtua
     Menurut Gunarsa (2012), terdapat beberapa peranan orangtua, yaitu (a) sebagai orangtua, (b) sebagai guru, (c) sebagai tokoh teladan, dan (d) sebagai pengawas. Sebagai orangtua, orangtua berperan untuk membesarkan, merawat, memelihara, dan memberikan anak kesempatan berkembang. Sebagai guru, orangtua berperan untuk mengajarkan peraturan-peraturan tata cara keluarga, mengajarkan ketangkasan motorik, dan menanamkan pedoman hidup bermasyarakat. Sebagai tokoh teladan, orangtua menjadi tokoh yang ditiru pola tingkah lakunya, cara berekspresi, dan cara berbicara. Sebagai pengawas, orangtua memperhatikan tingkah laku anak dan mengawasi anak agar tidak melanggar peraturan di rumah maupun di luar lingkungan.

Penyebab Orangtua Overprotective
     Kasih sayang yang terlalu berlebihan. Kasih sayang orangtua terhadap anak merupakan perasaan yang tulus datang dari hati. Tetapi, orangtua memberi kasih sayang yang berlebihan sehingga anak selalu bergantung pada orangtua. Terutama ketika beranjak dewasa, anak akan menjadi kepribadian yang tidak mandiri (Gunarsa, 2004, h. 81-85).
     Memiliki rasa kekhawatiran yang berlebihan. Rasa khawatir memang sebuah perasaan yang lazim dirasakan oleh setiap orangtua. Namun, sikap khawatir terhadap anak tentunya memiliki batasan. Karena tidak harus setiap aktivitas yang dilakukan menjadi sesuatu yang sangat dikhawatirkan oleh orangtua (Yusuf, 2000).
     Rasa trauma masa lalu yang dirasakan orangtua. Perasaan ini timbul ketika orangtua memiliki rasa trauma atau pengalaman yang buruk di masa lalu. Orangtua takut pengalaman buruknya terjadi juga terhadap anaknya sehingga orangtua akan bersikap overprotective pada anak (Yusuf, 2000).

Dampak Orangtua Overprotective
     Berbohong. Kebanyakan anak berbohong untuk menghindarkan diri dari hukuman. Anak tidak mau dihukum, disakiti maupun dipermalukan di depan orang lain, maka akan selalu mencari alasan untuk menutupi keadaan sebenarnya. Banyaknya larangan menyebabkan anak tidak dapat mengingat semuanya dan lebih sering melupakan. Maka, sulit dibedakan antara yang sebaiknya tidak dilakukan demi ketertiban hidup bersama dengan larangan yang tidak boleh dilanggar (Gunarsa, 2004, h. 23-34).
     Pergi tanpa izin. Gejala pergi dari rumah, yaitu meninggalkan rumah tanpa izin orangtua merupakan gejala yang banyak terlihat. Seringkali disebabkan oleh keadaan keluarga yang membuat anak menganggap rumah sebagai tempat yang tidak menyenangkan. Mungkin anak merasa dirinya ditekan dan dikekang sehingga anak seolah-olah memandang rumah dan keluarganya sebagai penjara (Gunarsa, 2004, h. 36-45).
     Pemberontakan. Jika terus-menerus dibatasi untuk melakukan sesuatu yang benar-benar ingin dilakukannya, ada kemungkinan anak berperilaku agresif. Pengawasan yang ketat, tuntutan tinggi, dan otoritas orangtua yang tidak masuk akal dapat memprovokasi pemberontakan pada anak, terutama usia remaja (Gunarsa, 2004, h. 90-100).
     Depresi. Kontrol psikologis yang berlebihan telah dikaitkan dengan depresi karena cara didik yang kaku dapat menyebabkan anak menjadi depresi. Serta anak menjadi memiliki rasa percaya diri yang rendah (Gunarsa, 2004, h. 67-83).
     Perilaku negatif. Anak yang dibesarkan dalam lingkungan terbatas dan dikendalikan cenderung memiliki sifat-sifat perilaku negatif ketika ia beranjak dewasa. Kurangnya kebebasan sebagai seorang anak dapat mengakibatkan anak terjerumus pada hal-hal negatif. Kontrol orangtua yang berlebihan juga dapat mengakibatkan sifat-sifat seperti agresi dan kaku ketika dewasa (Gunarsa, 2004, h. 67-83).
  
Upaya Pencegahan
     Menurut Weiten dan Lioyd (dikutip dalam Yusuf, 2000, h. 52), perlakuan orangtua yang efektif adalah (a) menyusun atau membuat standar yang tinggi dan dapat dipahami, (b) memberi kesempatan anak untuk berpendapat, (c) mendorong anak untuk menelaah dampak perilakunya terhadap orang lain, (d) menegakkan aturan secara konsisten, (e) menghargai privasi anak, (f) menaruh perhatian terhadap anak pada perlakuan yang baik dan memberikan ganjaran, (g) menaruh kepercayaan terhadap anak, (h) memberikan kebebasan pada anak untuk mengakspresiasikan dirinya, dan (i) menjelaskan alasan atau tujuan ketika meminta anak untuk melakukan sesuatu.

Simpulan
     Orangtua overprotective merupakan sikap orangtua yang melakukan pengawasan terlalu ketat terhadap anak. Pengawasan yang ketat menyebabkan anak mengarahkan emosinya ke dalam dan terhambat. Hal ini menyebabkan masalah dan gangguan terhadap perkembangan anak, terutama pada usia remaja.
     Oleh karena itu, orangtua harus memberikan perhatian kepada kegiatan yang dilakukan oleh anak, tetapi perhatian yang diberikan tetap harus sewajarnya. Sebagai orangtua tentu harus mengetahui karakter anak agar dapat memberikan pengajaran yang lebih tepat. Karena masing-masing anak memiliki karakter yang berbeda sehingga dibutuhkan dukungan orangtua yang merupakan dukungan sosial terpenting pada usia remaja.
 

Daftar Pustaka

Dewi, A. R., & Sugiasih, I. (2010, April). Persepsi terhadap overprotective orangtua pada remaja. Jurnal Psikologi Proyeksi, 5(1), 33-41. Diunduh dari http://fpsi.unissula.ac.id/index.php?option=com_content&vieww=article&id69&ltemid=77
Gunarsa, S. D. (2003). Psikologi perkembangan. Jakarta: Gunung Mulia.
Gunarsa, S. D. (2004). Psikologi anak bermasalah. Jakarta: Gunung Mulia.
Gunarsa, Y. S. D., & Gunarsa, S. D. (2004). Psikologi untuk muda-mudi. Jakarta: Gunung Mulia.
Gunarsa, Y. S. D. (2012). Asas-asas psikologi keluarga idaman: Peran orangtua dalam perkembangan anak. Jakarta: Libri.
Hidayat, D. E. (2013). Trust toward father and mother: An indigenous psychology analysis on children’s trust toward parents. Jurnal Pemikiran dan Penelitian Psikologi, 18(1), 51-58.
Tarmidi, & Rambe, A. R. R. (2010, desember 2). Korelasi antara dukungan sosial orangtua dan self-directed learning pada siswa SMA. Jurnal Psikologi, 37(2), 216-233.
Yusuf, S. (2000). Psikologi perkembangan anak dan remaja. Bandung: Remaja Rosdakarya.


Thursday, 6 November 2014

Latihan Level of Headings

Peningkatan Jumlah Pengangguran di Indonesia

Masalah Pengangguran
     Pengangguran adalah bagian dari angkatan kerja yang sekarang ini tidak bekerja dan sedang aktif mencari pekerjaan (Mantra, 2009). Pengangguran merupakan masalah di Indonesia yang masih menjadi persoalan sehingga perlu disikapi secara serius. Terlebih, dari data yang disampaikan Bank Dunia, kawasan Asia Timur memiliki tantangan besar terkait meluasnya pengangguran. Jumlah pengangguran di Indonesia pada saat ini memang menurun. Tapi ironinya, jumlah pengangguran terdidik di Indonesia semakin banyak. Hal itu juga sekaligus menggambarkan kondisi dan kualitas tenaga kerja di Indonesia (Moerti, 2014).

Penyebab Pengangguran
     Pendidikan yang dibutuhkan terlalu tinggi. Pendidikan yang rendah dapat menyebabkan seseorang kesulitan dalam mencari pekerjaan. Karena kualitas untuk menjadi pekerja masih di bawah standard yang biasanya menjadi patokan bagi perusahaan (Joe, 2013).
     Tidak memiliki skill. Banyak mahasiswa atau lulusan SMA memiliki kriteria dalam bekerja. Namun, dalam keterampilannya masih kurang. Sehingga tidak ada daya tarik atau nilai jual di dunia pekerjaan (Joe, 2013).
     Keterbatasan peluang kerja. Setiap tahunnya, Indonesia memiliki jumlah lulusan sekolah atau kuliah yang tinggi. Jumlah yang sangat besar ini tidak seimbang dengan lapangan pekerjaan yang ada, baik yang disediakan oleh pemerintah maupun swasta (Joe, 2013).
     Pemikirannya dianggap primitif. Pemikiran yang dimiliki masih diragukan karena pemikiran tidak lugas dan sempit. Sehingga pemikiran ini biasanya tidak mengikuti perkembangan zaman yang ada (Wiharto, 2012).
     Terjadinya PHK. Disebabkan oleh perusahaan yang menutup atau mengurangi bidang usahanya akibat krisis ekonomi, peraturan yang menghambat investasi, dan hambatan dalam proses ekspor-impor (Joe, 2013).

Bentuk Pengangguran
     Pengangguran terbuka. Tenaga kerja ini sungguh-sungguh tidak mempunyai pekerjaan. Pengangguran jenis ini cukup banyak karena memang belum mendapat pekerjaan padahal telah berusaha secara maksimal (Wiharto, 2012).
     Setengah menganggur. Perbedaan antara jumlah pekerjaan yang benar dikerjakan seseorang dalam pekerjaannya dengan jumlah pekerjaan yang secara normal mampu dan ingin dikerjakannya. Biasanya tenaga kerja setengah menganggur ini merupakan tenaga kerja yang bekerja kurang dari 35 jam selama seminggu (Wiharto, 2012).
     Tampaknya bekerja tetapi tidak bekerja secara penuh. Tenaga kerja yang tidak digolongkan sebagai pengangguran terbuka dan setengah pengangguran.
     Pengangguran tak kentara. Dalam angkatan kerja,  tenaga kerja dimasukkan dalam kegiatan bekerja, tetapi sebenarnya mereka menganggur jika dilihat dari segi produktivitasnya. Misalnya, para petani yang bekerja di ladang selama sehari penuh, padahal pekerjaan itu sebenarnya tidak memerlukan waktu selama sehari penuh (Ardimoviz, 2012).
     Pengangguran tersembunyi. Tenaga kerja yang bekerja tidak sesuai dengan tingkat atau jenis pendidikannya. Sehingga biasanya tenaga kerja ini tidak bekerja secara optimal karena suatu alasan tertentu (Ardimoviz & Wiharto, 2012).
     Pensiun lebih awal. Fenomena ini merupakan kenyataan yang terus berkembang di kalangan pegawai pemerintah. Di beberapa negara, usia pensiun dipermudah sebagai alat menciptakan peluang bagi yang muda untuk menduduki jabatan di atasnya (Bagus, 2009).
     Tenaga kerja yang lemah. Pekerja yang mungkin bekerja full time tetapi intensitasnya lemah, biasanya karena pekerja tersebut mempunyai penyakit (Bagus, 2009).
     Tenaga kerja yang tidak produktif. Pekerja yang mampu untuk bekerja secara produktif tetapi sumber daya penolong kurang memadai, maka mereka tidak bisa menghasilkan sesuatu yang baik (Bagus, 2009).

Dampak Pengangguran
     Segi ekonomi. Apabila tingkat pengangguran tinggi akan menyebabkan tingkat kemakmuran rendah, bahkan dapat membahayakan stabilitas negara. Akibatnya, terjadi bahaya kelaparan, tingkat pertumbuhan ekonomi rendah, dan pendapatan perkapita masyarakat rendah serta angka kriminalitas tinggi (Ardimoviz, 2012). Dilihat dari segi ekonomi, pengangguran memiliki dampak sebagai berikut:
     Pengangguran secara tidak langsung. Pengangguran ini berkaitan dengan pendapatan nasional. Tingginya jumlah pengangguran akan menyebabkan turunnya produk domestik bruto (PDB). Sehingga pendapatan nasional pun akan mengalami penurunan (Ardimoviz, 2012).
     Pengangguran sebagai penghambat. Pengangguran akan menyebabkan masyarakat tidak dapat memaksimalkan tingkat kemakmuran yang dicapainya. Hal ini terjadi karena pengangguran dapat menyebabkan pendapatan nasional riil (nyata) yang dicapai masyarakat akan lebih rendah daripada pendapatan potensial (Wiharto, 2012).
     Pengangguran dalam daya beli. Pengangguran akan menimbulkan daya beli masyarakat yang menurun, sehingga permintaan terhadap barang-barang hasil produksi akan berkurang. Keadaan demikian tidak merangsang kalangan investor untuk melakukan perluasan industri baru (Wiharto, 2012). 
     Segi sosial. Ditinjau dari segi sosial, pengangguran bisa menimbulkan dampak yang tidak kecil. Secara sosial, pengangguran dapat menimbulkan perasaan rendah diri dan gangguan keamanan dalam masyarakat, sehingga biaya sosial menjadi meningkat (Ardimoviz, 2012).

Simpulan
     Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa jika tingkat pengangguran di Indonesia relatif tinggi, hal tersebut akan menghambat pencapaian pembangunan ekonomi. Karena pada dasarnya, pembangunan ekonomi bertujuan untuk meningkatkan kemakmuran masyarakat (Joe, 2013).
     Pengangguran terjadi dari beraneka ragam penyebab yang menimbulkan dampak negatif. Salah satunya ialah yang disebabkan oleh keterbatasannya peluang kerja, karena pertumbuhan penduduk menciptakan angka tenaga kerja yang selalu bertambah. Sedangkan, lahan pekerjaan yang tersedia tidak memadai. Jadi, pemerintah harus mengadakan program untuk mengatasi masalah ini seperti memperluas lapangan kerja, menjaga stabilitas makro ekonomi, dan melaksanakan transmigrasi (Wiharto, 2012).


Daftar Pustaka
Enam belas penyebab terjadinya pengangguran. (2013, Januari 18). Diunduh dari http://segitiga8.wordpress.com/2013/01/18/16-penyebab-terjadinya-pengangguran/
Bimbie. (n.d.). Mengetahui lebih lanjut tentang pengangguran. Diunduh dari http://www.bimbie.com/penyebab-pengangguran.htm
Joe, D. (2013, Januari 14). Faktor masalah pengangguran dan cara mengatasinya. Diunduh dari http://dimasjoe10.wordpress.com/2013/01/14/faktor-masalah-pengangguran-dan-cara-mengatasinya/
Bagus, D. (2009). Pengangguran: Definisi, dimensi dan bentuk pengangguran. Jurnal Manajemen. Diunduh dari http://jurnal-sdm.blogspot.com/2009/10/pengangguran-definisi-dimensi-dan.html?m=1
Ardimoviz. (2012, Juli 16). Dampak pengangguran. Diunduh dari http://hitamandbiru.blogspot.com/2012/07/dampak-pengangguran.html?=1
Moerti, W. (2014, Mei 6). Empat fakta seputar tenaga kerja dan pengangguran di Indonesia. Diunduh dari http://m.merdeka.com/uang/4-fakta-seputar-tenaga-kerja-dan-pengangguran-di-indonesia.html
Sinamo, J. H. (2005). Kerja adalah aktualisasi. Dalam C.M Udiani (Ed.), Delapan etos kerja professional (h. 105-108). Jakarta: Darma Mahardika.

Boediono. (2009). Meneropong ekonomi indonesia ke depan: Peluang dan tantangan (3rd ed.). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Tuesday, 7 October 2014

Filsafat Psikologi

Tokoh Awal

  • Wilhem Wundt (1832 - 1920)
    Tokoh pertama yang mendirikan psikologi dengan mendirikan lab. psikologi pertama didunia, ia seorang ketua bagian filsafat di universitas Leidzig, Jerman
  • William James (1842 - 1910)
    Berpendapat bahwa kesadaran manusia itu, bersifat unik pribadi dan setiap saat berubah - ubah.
  • John Watson
    Dengan aliran behaviorismenya berpendapat bahwa psikologi seharusnya mempelajari kejadian - kejadian yang terjadi disekeliling dan berperilaku yang dapat di amati.
Landasan Filosofis di berbagai Aliran
  • Ontologi pada positivisme sejalan dengan pemikiran yang digunakan oleh pendekatan behaviorisme yang ada pada psikologi.
  • Aliran psikologi Gestalt mempunyai banyak tokoh terkemuka, antara lain, Wolfgang Kohler, Kurt Koffka dan Max Wertheimer.
  • Menurut Psikoanalisa mempelajari dengan tekun mengenai hukum dan faktor - faktor penentu didalam kepribadian.
  • Psikologi yang berorientasi humanistic mempunyai tujuan, mereka ingin memanusiakan psikologi.
  • Psikologi kognitif memiliki landasan filosofis rasionalisme. Tokohnya adalah Rene Descartes, Spinoza dan Leibniz.
Filsafat dan Konseling
  • Ensialisme
    Ada 3 aspek didalam kelompok ini, yakni, Rasionalisme, Idealisme, Realisme. Filsafat ini menerima asumsi bahwa manusia adalah makhluk.
  • Progresivisme
    Muncul sebagai akibat dari melunturkannya kepercayaan terhadap konsep - konsep yang absolut.
  • Esksistensialisme
    Konsep dasar filsafat esksissialistik sebagai kelompok ketiga menurut Blocer.
Filsafat Ilmu dan Psikologi

Filsafat ilmu, sebagai salah satu  cabang filsafat yang memberikan sumbangan penuh bagi perkembangan ilmu psikologi. Filsafat bisa menegaskan akar histois ilmu psikologi.

sumber: disarikan dari powerpoint pembelajaran filsafat 2014. 

Eksistensial

 Pengertian  

  • Secara Etimologi
    Ex = keluar, sistentia (sistere) = berdirimanusia bereksistensi adalah manusia baru menemukan diri sebagai aku dengan keluar dari dirinya.
  • Menurut Kirkegaard dan Sartre
    Aliran yang pokok utamanya adalah manusia dan cara beradanya yang khas di tengah makhluk lainnya
  Ciri - ciri Eksistensialisme  
  • Motif pokok adalah eksistensi, cara  manusia berada. hanya manusia bereksistensi
  • Bereksistensi harus diartikan secara dinamis, bereksistensi berarti menciptakan diri secara aktif, berbuat, menjadi dan merencanakan.
  • Manusia dipandang terbuka, belum selesai. Manusia terikat pada dunia sekitarnya, khususnya pada sesamanya.
  • Memberi penekanan pada pengalaman konkrit.

Terdapat dua tokoh, yaitu:
1. Soren Aabye Kierkegaard Lahir di Kopenhagen, Denmark 15 Mei 1813. Belajar teologi di Universitas Kopenhagen, tapi tidak sampai selesai. Saat 3 saudaranya, ayah dan ibunya meninggal, Sempat menjauh dari temannya dan agama, sempat bertunangan dengan Regina Olsen (tapi tidak jadi menikah). Pada tahun 1849, ia kembali ke agamanya (Kristen).Ia meninggal pada tahun 1855 dianggap sebagai tokoh di gerejanya. 
2. Jean Paul Sartre Lahir di paris,1905. 
  • Tahun 1929 menjadi guru.
  • Tahun 1931 - 1936 menjadi dosen filsafat di Le Havre.
  • Tahun 1941 menjadi tawaran perang.
  • Tahun 1942 -1944 menjadi dosen Loycee Pasteur.
Pokok - Pokok ajaran Kierkegaard  
  • Kritik terhadap Hegel: Kirkegaard memandang Hegel sebagai pemikir besar, tapi satu hal satu hal yang dilupakan Hegel - menurut Kirkegaard - adalah eksistensi manusia individual dan konkrit.
  • Manusia adalah konkrit, berbeda dan berdiri di hadapan Tuhan. Manusia itu Eksistensi.
  • Eksistensi berarti bagi Kirkegaard: Merealisis diri, mengikat diri dengan bebas, dan mempraktekkan keyakinannya dan mengisi kebebasannya.
  • Hanya manusia bereksistensi, karna dunia, binatang dan sesuatu yang lainnya hanya ada. juga Tuhan 'ada'
3 cara bereksistensi
  1. Sikap Estetis 
    Merengguh sebanyak mungkin kenikmataan, yang dikuasai oleh perasaan.
  2. Sikap Etis
    Sikap menerima kaidah - kaidah moral. suara hati dan memberi arah pada hidupna.
  3. Sikap Religius
    Berhadapan dengan Tuhan.
Pemikiran Filsafat menurut Sartre
  • Bagi sartre, manusia mngada dengan kesadaran sebagai dirinya sendiri. Keberadaan manusia berbeda dengan keberadaan benda lain yang tidak punya kesadaran.
  • Untuk sartre manusia eksistensi adalah keterbukaan, beda dengan benda lain yang keberadaannya sekaligus berarti esensinya. Bagi manusia eksistensi mendahului esensinya.
  • Asas pertama untuk memahami manusia harus mendekatinya sebagai subjektivitas.
  • Tanggung jawab yang menjadi beban kita jauh lebih besar dari sekedar tanggung jawab terhadap diri kita sendiri.
  • Dibedakan "berada dalam diri" dan "berada untuk diri"
  • Berada dalam diri: berada dalam dirinya, berada itu sendiri. misalnya: meja itu meja, bukan kursi, bukan tempat tidur.
  • Berada untuk diri: berada yang dengan sadar akan dirinya,yaitu cara berada manusia. Manusia punya hubungan dengan keberadaannya. Bertanggung jawab  atas fakta bahwa ia ada. Misalnya: Manusia bertanggung jawab  bahwa ia pegawai, dosen.
  • Biasanya kesadaran kita bukan kesadaran akan diri, melainkan kesadaran diri.
  • Baru kalau kita secara refleksif menginsyafi cara kita mengarahkan diri pada objek, kesadaran kita diberi benuk kesadaran akan diri.
  • Tuhan tidak bisa dimintai tanggung jawab. Tuhan tidak terlibat dalam putusan yang diambil oleh manusia.
  • Tanpa kebebasan eksistensi manusia menjadi absurd. bila kebebasan ditiadakan, maka manusia hanya sekedar esensi belaka.
Hal - hal yang mengurangi kebebasan manusia menurut Sartre
  • Tempat kita berada 
    Situasi yang memberi struktur pada kita.
  • Masa lalu
    Tidak mungkin meniadakannya karena masa lampau menjadikan kita sebagaimana kita sekarang ini.
  • Lingkungan sekitar (Umwelt)
  • Kenyataan 
    adanya sesama manusia dengan eksistensinya sendiri.
  • Maut
    Tidak bisa ditunggu saat tibanya, walau pasti akan tiba.
Kebutuhan Manusia
  • Dalam eksistensinya manusia
    Kehadiran selalu menjelma sebagai wujud yang bertubuh. Tubuh mengukuhkan kehadiran manusia.
  • Tubuh sebagai pusat orientasi
    Tidak bisa dipandang sebagai alat sementara, tapi mengukuhkan kehadiran kita sebagai eksistensi.
Komunikasi dan Cinta
  • Komunikasi
    Suatu hal yang apriori tak mungkin tanpa adanya sengketa, karena setiap kali orang menemui orang lain pada akhirnya akan terjadi saling objektifikasi, yang seorang seolah olah membekukan orang lain. Terjadi saling pembekukan sehingga masing - masing jadi objek.
  • Cinta
    Bentuk hubungan keinginan saling memiliki objek cinta. Akhirnya cinta bersifat sengketa karena ibjektifikasi yang tak terhindarkan.

sumber: disarikan dari materi powerpoint pembelajaran filsafat 2014.  

Field Trip

       

       
        Pada hari Kamis, 2 Oktober 2014, saya pergi ke Kampung Betawi Si Pitu Setu Babakan bersama Pak Carolus, Pak Raja, Pak Mikha, asisten dosen, kelompok saya (Aletheia) dan teman-teman seperjuangan Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara. Saya dapat melihat nilai-nilai moral dari kehidupan Kampung Betawi tersebut. Etos kerja yang dapat saya lihat ialah perilaku, sikap, kebiasaan, dan keyakinan warga yang berbeda setiap individunya. Kerajinan, gotong royong, saling membantu, dan bersikap sopan masih ditemukan dalam warga Kampung Betawi. Banyak makanan yang dijual disana bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Walaupun saya merasa lingkungannya terasa sangat panas dan banyak sampah berserakan. Di Kampung Betawi juga terdapat sungai yang terlihat bersih dan digunakan untuk sarana hiburan seperti ada perahu bebek dan menjadi tempat pelatihan para tentara dalam mendayung perahu secara bersama.
     Terdapat pertunjukkan dalam bidang seni seperti menari dan memainkan alat musik serta membuat batik. Diharapkan pelestarian budaya tersebut tetap dipertahankan untuk menjaga nilai-nilai budaya dengan membangun beberapa fasilitas penunjang dalam mempertunjukkan kesenian dan kebudayaan betawi, yang seharusnya menjadi objek wisata. Karena fasilitas Kampung Betawi belum cukup maksimal, belum mampu mewadahi kebudayaan Betawi. Sehingga saya tidak dapat menemukan suatu hal sebagai objek jadi tidak menarik dan sangat membosankan.
      Saya dan kelompok saya mengamati Kampung Betawi sebagai objek melalui refleksi masing-masing. Kami juga mewawancarai para pedagang tentang nilai-nilai moral bagi dirinya masing-masing seperti tujuan hidup mereka, nilai religi, susah dan senang dalam berdagang.
     Yang saya dapatkan bahwa etos kerja dan nilai budaya dalam pelestarian batik warga tersebut sudah cukup baik walaupun saya hanya dapat makan dan berfoto bersama tiada henti di sana karena kurang efektifnya suatu hal seperti tidak ada tujuan yang dicapai. Tapi saya senang, saya merasakan kebersamaan yang hadir.

Ini adalah suasana Field Trip.


 


















Badan dan Jiwa

Badan dan Jiwa

Badan dan jiwa merupakan satu kesatuan yang membentuk pribadi manusia.
Badan manusia adalah elemen mendasar dalam membentuk pribadi manusia. Hakikat badan terletak dalam seluruh aktivitas yang terjadi dalam badan.
Jiwa manusia adalah badan manusia tidak memiliki apa-apa tanpa jiwa. Jiwa harus dipahami sebagai kompleksitas kegiatan mental manusia. Jiwa menyadarkan manusia siapa dirinya.

Ada dua aliran dalam memandang badan dan jiwa, yaitu:

  • Monoisme

Aliran yang menolak pandangan bahwa badan dan jiwa merupakan dua unsur yang terpisah. Terdapat 3 aliran, yaitu:

  1. Materialisme: menempatkan materi sebagai hal dasar dari segala hal.
  2. Teori identitas: mengakui aktivitas mental manusia, badan dan jiwa merupakan dua elemen yang sama.
  3. Idealisme: ada hal yang tidak dapat diterangkan berdasarkan materi seperti pengalaman, nilai, dan norma. Rene Descartes dengan cogito ergo sum-nya menjadi peletak dasar bagi idealisme.
  • Dualisme
Badan dan jiwa adalah dua elemen yang berbeda dan terpisah. Terdapat 4 cabang, yaitu:
  1. Interaksionisme: fokus pada hubungan timbal balik antara badan dan jiwa.
  2. Okkasionalisme: memasukkan dimensi ilahi dalam membicarakan hubungan antara badan dan jiwa.
  3. Pararelisme: sistem kejadian ragawi terdapat di alam dan sistem kejadian kejiwaan ada pada jiwa manusia.
  4. Epifenomenalisme: melihat hubungan jiwa dan badan dari fungsi syaraf.
sumber:powerpoint materi pembelajaran filsafat 2014. 

Sunday, 5 October 2014

Afektivitas dan Kebebasan

Afektivitas 

Manusia bukan saja memiliki kemampuan kognitif-intelektual, tetapi juga afektivitas. Jelasnya, di samping pengetahuan, afektivitas juga membuat manusia berada secara aktif dalam dunianya serta berpartisipasi dengan orang lain dan dengan peristiwa-peristiwa dunianya. 

Melalui peranan afektivitaslah, manusia tergerakkan hatinya, keinginannya, dan perasaannya atau ketertarikannya untuk mengamati, mempelajari, dan mengembangkan pengada-pengada aktual di sekitarnya menjadi bagian dari proses keberadaannya.Afektivitas tidak sama dengan pengetahuan, namun menjadi penggerak sekaligus akibat dari proses pengetahuan manusia dalam arti penerapannya.

Jangan cepat membuat dikotomi mengenai pengetahuan dan afektivitas. Karena kemungkinan pengetahuan tertentu hanya tercapai melalui perasaan. Pengetahuan eksistensial mempunyai sifat sebagai kepastian bebas dan memberi alasan untuk percaya bahwa kebebasan manusia tidak pernah absen dari penegasan intelektual mengenai adanya afektivitas dalam alam pengetahuannya. Cinta (disebut afektivitas positif) atau benci (disebut afektivitas negatif) dapat menjadi dasar penentuan bagi suatu tindakan kognitif. 

Afektivitas bukan hanya tindakan ke arah kebutuhan selera, kecenderungan. atau apa yang jasmaniah saja. tetapi juga spiritual dan intelektual atau intelligible. Afektivitas adalah satu dari unsur-unsur pokok naluriah dari manusia. 

Perbuatan afektif mengarahkan manusia untuk membuatnya berada lebih intensif bersama dengan hal lain, bersifat eksistensial. Pengalaman-pengalaman afektivitas justru menjadi syarat yang sangat menentukan bagi proses inteligensi manusia.

Jadi, untuk mencapai afektivitas, subjek harus berada dalam kondisi dimana subjek akan melahirkan kegiatan afektif. Adapun kondisi-kondisi tersebut ialah: 
Pertama, antara subjek dan objek harus ada ikatan kesamaan atau kesatuan itu sendiri, karena ketika tidak ada kesamaan maka tidak akan ada afektivitas. Sebagai contoh ketika kita berhubungan dengan sebuah objek maka dalam diri objek terdapat sesuatu yang membuat kita tertarik atau menjauhinya, sesuatu yang ada pada diri objek pasti juga ada dalam diri subjek yang akhirnya akan menimbulkan kegiatan afektif baik menerima atau menolak.
Kedua, nilai (baik dan buruk), dalam kondisi ini, ketika objek dipandang memiliki sebuah nilai maka subjek akan melahirkan kegiatan afektif, karena afektivitas itu sendiri adalah berdasar pada kecintaan akan sesuatu maka subjek pada akhirnya akan melahirkan kegiatan afektif untuk menolak atau menerima.
Ketiga, sifat dasariah dan kecenderungan kognitif, pada kondisi ini subjek akan dalam melakukan sebuah afektif harus ditunjang dengan sebuah sifat dasariah yang akan mendorong dia untuk lebih cenderung, selera, berkeinginan akan sesuatu yang pada akhirnya akan menimbulkan kegiatan afektif yang ternyata memang sesuai dengan sifat dasariah tersebut.
Keempat, mengenal adalah kausa dari afektivitas. Dalam proses mengenal subjek akan mengalami kondisi dimana dia harus berusaha mendefinisikan objek yang akan dikenalinya dan ketika definisi tentang objek tersebut telah tercapai maka pada akhirnya akan lahir sebuah keputusan afektif apakah dia harus menyerang, mencintai, mempertahankan diri atau yang lainnya.
Kelima, imajinasi. Untuk menimbulkan kegiatan afektif maka imajinasi dapat menjadi sebuah pendorong, semangat, mempengaruhi bahkan membohongi. Pengetahuan pertama (baik dari pengalaman atau informasi dari pengenalan) akan melahirkan sebuah deskripsi awal tentang objek, maka dalam kondisi ini subjek akan dipengaruhi untuk bertindak seperti apa yang ia dapat pada pengalaman-pengalaman dan imajinasi yang dia dapatkan terdahulu.

Kebebasan
Manusia merealisasikan dirinya secara penuh jika bebas.  Gagasan kebebasan semacam ini selalu aktual dalam hidup manusia selain karena kebebasan merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan dari diri manusia, juga karena kebebasan itu dalam kenyataannya merupakan suatu yang bersifat "fragile". Manusia adalah makhluk yang bebas, namun sekaligus manusia adalah makhluk yang harus senantiasa memperjuangkan kebebasannya. 

Arti dan makna kebebasan pada jaman sekarang tidak bisa disempitkan hanya pada pengertian kebebasan dalam masyarakat kuno. Pada jaman penjajahan kebebasan mungkin lebih diartikan sebagai keadaan terlepas dari penindasan oleh penjajah. Namun pada masyarakat modern, di mana bentuk penjajahan terhadap kebebasan juga semakin berkembang, misalnya dengan adanya gerakan modernisasi dan industrialisasi yang membawa perubahan yang radikal pada cara berpikir manusia, arti kebebasan juga mempunyai makna yang lebih luas. Kebebasan pada jaman sekarang bukan hanya berarti sekedar terbebas dari keadaan terjajah, namun mungkin lebih berarti bebas untuk mengaktualkan diri di tengah-tengah perkembangan jaman ini.

Manusia yang bebas adalah manusia yang memilih sendiri perbuatannya. Kebebasan adalah suatu kondisi tiadanya paksaan pada aktivitas saya. Manusia disebut bebas kalau dia sungguh-sungguh mengambil inisiatif dan bertanggung jawab atas perbuatannya.Hal itu juga berarti bahwa kebebasan mempunyai kaitan dengan kemampuan internal definitif penentuan diri, pengendalian diri, pengaturan diri dan pengarahan diri. 

“Freedom is self-determination” Berdasarkan pengertian itu dapat dikatakan bahwa kebebasan merupakan sesuatu sifat atau ciri khas perbuatan dan kelakuan yang hanya terdapat dalam manusia dan bukan pada binatang atau benda-benda. Kebebesan sejati hanya terdapat di dalam diri manusia karena di dalam diri manusia ada akal budi dan kehendak bebas. Kebebasan sebagai penentuan diri mengandaikan peran akal budi dan kehendak bebas manusia.

Secara ringkas Louis Leahy membedakan tiga macam atau bentuk kebebasan, yaitu kebebasan fisik, kebebasan moral dan kebebasan psikologis.

sumber: disarikan dari powerpoint materi pembelajaran filsafat dan goodreads 2014.


Wednesday, 24 September 2014

The Riddle

Halo! cuma sekedar hiburan aja nih. Kalian tahu the riddle? Sebuah permainan teka-teki dalam cerita, jadi dalam cerita itu kalian sendiri yang mencari kejanggalannya. The riddle itu bisa dibilang cerita horror atau biasanya isi ceritanya tentang pembunuhan yang terkait kelainan psikologinya terganggu, seperti psikopat.

Kita mulai aja ya! Ayo, diperhatikan setiap katanya. Cari bagian yang terdapat kejanggalan setelah kalian membacanya.

HIDE AND SEEK

Ada delapan orang bermain petak umpet hari itu, termasuk aku. Aku yang pertama kali ditemukan, padahal baru 5 menit pertama. Tiga orang lagi ditemukan 5 menit berikutnya. Dan sisanya, empat orang ditemukan 5 menit selanjutnya. Ah, permainan ini cepat sekali selesainya. Aku nggak mau bermain petak umpet lagi.

Jurnal Akademika

Saya membuat jurnal dari buku Jurnal Akademika yang saya pinjam dari perpustakaan.
Semoga bermanfaat untuk kalian semua sebagai contoh. :)

Studi kasus                 : Kaji Tindak (Action Research)
Subyek                        : Pengajar
Metode penelitian       : Melakukan peningkatan kemampuan dosen dalam teknik mengajar        serta pengembangan situasi kondusif dalam proses belajar                    mengajar.
Konfirmasi
                     Konfirmasi Kualitatif

  • ·       Peneliti meneliti kegiatan mengajar untuk menilai kemampuannya.
  • ·       Dalam melakukan kaji tindak, peneliti menggunakan 3 langkah perencanaan, yaitu observasi saat melakukan aktivitas dengan cara mengidentifikasi masalah terjadinya proses belajar mengajar, refleksi dari hasil observasi dengan cara mendiskusikan masalah yang dihadapi dengan pihak-pihak yang terlibat dalam proses belajar mengajar, dan merencanakan aktivitas selanjutnya untuk mengevaluasi atas langkah kedua serta menyiapkan dasar rasional.
  • ·       Peneliti juga menawarkan pendekatan pribadi untuk menilai.
  • ·       Peneliti mulai dengan suatu ide, Kemudian dikembangkan secara berkesinambungan apakah sesuai dengan harapan.

                 Konfirmasi Kuantitatif

  • ·       Seorang dosen melakukan pembelajaran di dalam kelas dikonfirmasi oleh peneliti bahwa manusia lebih banyak belajar dilingkungan kerjanya.
  • ·       Tidak ada satu rumusan pun mengenai cara mengajar yang baik, namun demikian cara mengajar yang baik biasanya ditandai oleh adanya interaksi yang intensif antara pendidikdan mahasiswa.
  • ·       Pendidik dan mahasiswa mempunyai arah belajar yang jelas.
  • ·       Tugas-tugas yang diberikan dosen merangsang mahasiswa melakukan penalaran.
  • ·       Proses belajar mengajar yang baik tercapai dari pendidikan yang bersifat teknis baik secara formal maupun informal, kolega, pengalaman, dan proses berpikir.

Inferensi
Premis 1: Dosen pengajar yang tidak bersifat teknis dalam berpikir menunjukkan hasil kinerjanya yang rendah.
Premis 2: Dosen pengajar yang melakukan secara intensif menghasilkan peningkatan kinerja dosen dalam teknik mengajar serta berkembangnya situasi yang kondusif.
Premis 3: Dosen pengajar yang memberikan mahasiswa arah belajar yang jelas dengan adanya interaksi menunjukkan hasil yang sama dengan dosen pengajar yang melakukan secara intensif.
Kesimpulan: Dosen pengajar yang melakukan secara intensif dan memberikan arah yang jelas menunjukkan peningkatan kinerja dosen dalam teknik mengajar serta berkembangnya situasi yang kondusif daripada dosen pengajar yang tidak bersifat teknis dalam berpikir.

Konstruksi Teori
·        Model korespondensi: Berdasarkan hasil pengamatan, pengajar yang melakukan interaksi intensif antar mahasiswa lebih tinggi dampaknya dalam proses belajar mengajar sehingga terdapat kerjasama dan percaya diri yang tinggi.

·       Model koherensi: Pelaksanaan kaji tindak tidak disesuaikan dengan situasi dan kondisi perguruan tinggi masing-masing sehingga tidak bertindak sebagai organisasi belajar profesional.

Model paradigmatis: Persepsi mahasiswa atas kinerja dosen didapatkan melalui pendapat dan komunikasi, kemudian umpan balik bagi dosen untuk melakukan perbaikan dan peningkatan kinerjanya agar berarti bagi mahasiswa mengenai materi yang didapatnya.